Selasa, 24 April 2012

Budaya Sepak Bola Indonesia


Pada sekarang ini budaya suporter sepak bola Indonesia semakin merajalela itulah yang menyebabkan persepakbolaan Indonesia sering dianggap rusuh (kotor). Apalagi dengan fasilitas pengamanan yang kurang, kapasitas yang minim, ketidaktegasan menjatuhkan hukuman untuk suporter yang berbuat rusuh. Semua dari beberapa faktor tadi dapat menjadikan kesadaran pada diri suporter berkurang sehingga mampu menjadikan suporter berbuat anarkis.
Dalam menganalisis semua pengaruh terjadinya kerusuan persepakbolaan Indonesia, media elektronik sering memberitakan tentang oknum-oknum supporter di berbagai daerah. Efek dari kerusuhan atau aksi anarkis biasanya berakhir dengan adanya kecaman atau tudingan bahwa pimpinan dari Kelompok Suporter tersebut telah gagal mengendalikan massa anggotanya.
Dalam menganalisis semua faktor kerusuan persepakbolaan Indonesia, Sudah saatnya pertandingan demi pertandingan dalam olahraga dihadirkan guna memberi kenikmatan yang menghibur. Bukan malah menjadi gelanggang para preman jalanan yang hanya gemar mengecer perilaku destruktif dan anarkis. Bukan hanya kerusakan infrastruktur dan fasilitas publik, tragedi itu telah merugikan dan mengancam keselamatan insan pers. Fatkhul Alamy, Anarkisme sebagian supporter (oknum), layak digolongkan sebagai tindakan premanisme yang membahayakan bagi siapapun. Penggunaan bahasa yang tidak ditimbang dengan baik dapat memanipulasi realitas sehingga berpotensi menimbulkan persepsi keliru dan berakhir dengan aktualisasi destruktif. Penggunaan bahasa dalam olahraga adalah salah satu contohnya. Dengan sedikit pengamatan pada bahasa yang digunakan dalam berita atau siaran olahraga, kita akan dengan mudah menemukan bahwa metafora kekerasan telah merasuk ke dalamnya. Dan Berbuat anarkis dalam pertandingan sepak bola  di indonesia sudah menjadi wajar karena suporter indonesia selalu diselimuti atmosfer gelap. Tak sedikit yang menilai, fenomena suporter sepak bola indonesia merupakan resistensi terhadap kisruhnya persepakbolaan Indonesia secara komunal. media cetak dan media televisi pun selalu kerap bernada jelek. Ketakbecusan organisasi induk itu melahirkan “perlawanan” arus bawah. Alih-alih menjadi wadah pembinaan, PSSI justru memberikan teladan buruk, berupa perilaku melawan hukum, yang, anehnya, betah dipelihara dan ditutup-tutupi pengurusnya sendiri. Salah satunya, menolak merevisi pedoman dasar agar sesuai status FIFA serta cenderung mengamankan posisi ketua umum, yang jelas-jelas cacat di mata hukum.